“
BENTROKAN DI DALAM ASRAMA”
(Drama satu babak)
2.
M. Khoir
3.
Iin
4.
Sukis
Keadaan
Pentas : Panggung merupakan
Sebuah ruangan besar, tempat anak-anak asrama baca-baca atau
bercakap-cakap. Disebelah kiri, dekat dinding depan sebuah meja kecil, duduk
seorang anak muda, Sukis, ia menghadap ke tengah ruangan asyik menulis
sebentar-sebentar penanya dicelupkan ke dalam tinta dan sebentar pula
menyapu-nyapu rambutnya ke
belakang. Rambutnya panjang, kulit mukanya kuning berbintik-bintik penuh
jerawat, matanya sipit, badannya kurus di tengah-tengah ruangan apalagi sepasang
kursi dengan meja satu, disana duduk orang lagi anak muda, mereka
berhadap-hadapan sedang main catur yang seorang rambutnya keriting
badannya tegap, kuat dan sehat Khoir namanya berlainan sekali dengan
badan yang dihadapinya Goni nama anak muda ini, berkacamata.
M. Khoir : “Hai
mengantuk kau! Sekarang giliranmu!”
Goni :
(Dengan tenang memindahkan anak caturnya)
M. Khoir :
(Memindahkan anak catur dan membentak pula)
“Lekas
jangan mengantuk saja!”
Sukis : “Memang si Goni suka mengantuk”
Goni :
(Dengan Tenang memindahkan anak kuda)
“Skak”!!!
M. Khoir : (Terkejut), “Skak ? benar Skak ?”
Goni : “Ya Skak”
M. Khoir : (Berpikir sejurus dan kemudian memindahkan
anak caturnya)
Goni : (Berteriak gembira) “Skak Mat Khoir”
Sukis : “Kau kalah Khoir”
M. Khoir : (Tiba-tiba menyapu anak catur sehingga jatuh
semua)
Sukis : (Memdekati Khoir)
“Sebetulnya
bukan karena kau kalah pandai Khoir, tetapi kau kurang waspada. Kau tahu bahwa bukan bahwa Goni itu
licik?”
M. Khoir : “Brengsek”
Sukis : “Dan bukan bukan bermain catur saj, dalam
segala hal ia tidak sportif,
lagi pula ia suka menyombongkan diri dan biasa menjelek- jelekkan orang lain”.
Goni : “Aku tak mau pergi sebab aku tidak berdosa
kepadamu”.
M. Khoir : “Kau ingin aku tempeleng lagi?”
Goni : “Aku mau pergi setelah aku mengetahui
kesalahanku”.
M. Khoir : “Kau tidak usah mengerti ! ini bukan
berhitung, bukan aljabar dan bukan
pelajaran lain, pergi..!!!”
(Khoir
mendorong Goni tetapi Goni melawannya. Mereka hampir bergelut, tiba-tiba terdengar suara
terdehem diluar)
Sukis : “Ada
orang ! ada orang jangan bergelut disini, nanti teruskan di alun- alun saja!”.
Goni : “Baiklah aku akan pergi karena kau tidak
memberi alas an kau tidak anggup”.
M. Khoir : “Aku tidak usah bertanggung jawab kepadamu,
dan awas kalau kau berani
mengadukan hal ini kepada Bu Iin”.
M. Khoir : “Gila
dia…..Kurang ajar benar!!”
Sukis : “Cukuplah Khoir, kau sudah memberi pelajaran
kepadanya. Ha..ha..ha..
Dia sudah rasaka sekarang”
M. Khoir : (Masih merengut kemudian duduk di meja)
Sukis : “Khoir aku tidak mengerti mengapa kau masih
mau bergaul dengan anak
semacam Goni, apakah kau lupa, apa yang telah diperbuat si Goni terhadap
dirimu?”.
M. Khoir : “Aku tidak mengerti maksudmu Sukis?”.
Sukis : “Masak kau sudah lupa?”.
M. Khoir : (Mengingat-ingat)
“Menurutku
kaulah yang pernah bertengkar dengan Goni”.
Sukis : “Benar aku bertengkar dengan Goni tetapi hal
itu belum seberapa, aku
hanya dituduh menjiplak pekerjaannya. Lain persoalannya dengan kau…”
M. Khoir : “aku ? Mengapa aku ?”
Sukis : “Ha..ha..ha.. Masak kau lupa Khoir ?”
M. Khoir : (Membentak) “Kau gila Sukis ! Apa yang kau
tertawakan ? Aku tidak
mengerti !!”.
Sukis : “Kau lupa fitnah Gonu kepadamu Khor?”
M. Khoir : “Fitnah bagaimana ?”.
Sukis : “Bukankah kau dituduh mencuri pulpennya ?”.
M. Khoir : “Seingatku dia tidak pernah menuduh, dia hanya
menanyakan pulpennya
kepadaku”
Sukis : “Tapi tahukah Khoir sebenarnya pulpennya tidak
hilang ?”.
M. Khoir : “Tidak hilang ?”.
Sukis : “Ya, tidak hilang, pulpennya itu dijual dank
arena dia benci kepadamu,
jadi dia menuduhmu mencuri”.
M. Khoir : “Tetapi aku tahu bahwa dia tidak menuduh akau
?”.
Sukis : “Benar Khoir, memang dia menuduh kau tidak
terang-terangan tetapi tahukah
kau diadukan kepada Pak Bas ?”.
M. Khoir : (Menggelengkan kepala)
“Mengapa
Pak Bas tidak menghukum aku ?”.
Sukis : “Karena Goni tidak memberikan bukti-bukti yang
nyata”.
M. Khoir : “Bagaimana kau mengetahui ini semua ?”.
Sukis : “Begini, waktu itu sedang istirahat, ketika
Goni mengadukan sedang mengadukan hal ini
kepada Pak Bas di dalam kelas, secara tidak langsung
aku masuk mau mengambil buku ilmu bumi, kudengar apa yang di percakapkan, lalu aku pura-pura
mencari buku”.
Goni : (Mau menyampaikan sesuatu kepadanya, tetapi ia
terkejut melihat Khoir
wajahnya merah padam).
Sukis : (Menyingkir ke tepid an duduk di kursi).
M. Khoir : (Tetap menunding kea rah Goni)
“Kau
kira aku takut di usir dari sini karena menempeleng kau ? Nah rasakan !!. (Khoir
menempeleng Goni dan Goni mengelak sehingga kacamatanya
jatuh)
M. Khoir : “Coba adukan lagi ke Bu Iin aku tidak takut
!”.
Goni : “Nanti dulu, Khoir siapa yang mengadu ke Bu
Iin ?”.
M. Khoir : “Huuh… Jangan pura-pura bodoh”.
Goni : (Panas hatinya dan lupa bahwa Khoir lebih
besar dan lebih kuat, ia siap
menyerang Khoir tiba-tiba Bu Iin datang).
Ibu Iin : “Ada
apa rebut ? Ada
apa ?”
(Semuanya
diam)
Ibu Iin : “Mengapa kau marahi Khoir siapa yang kau
marahi, Goni ?”
M. Khoir : (Mula-mula diam kemudian dia menjawab)
“Dia
pengkhianat Bu..
Ibu Iin : “Pengkhiatat ? Pengkhianat bagaimana ?”.
M. Khoir : “Dia suka mengadu !!”.
Ibu Iin : “Kepada siapa ia mengadu dan apa yang
diadukannya ?”.
M. Khoir : “Mengadu kepada Ibu”.
Ibu Iin : “Mengadu kepadaku ? Kapan ? Aku tidak
tahu-menahu”.
M. Khoir : “Karena Bapak tadi memanggil dan memarahi
saya, kata Ibu saya telah
menempeleng Goni”.
Ibu Iin : (Tersenyum dan mengangguk-angguk)
“Ooh…..
begitu”
Ibu Iin : “Ya benar teman-teman kalian yang melaporkan
kejadiannya tersebut,
tapi itu kewajibannya, sekarang kau tahu Khoir bukan Goni yang mengadu”.
Khoir : (Tunduk dan malu)
“Saya
mensal Bu. Saya salah duga”.
Goni : (Tersenyum riang)
Ibu Iin : (Melirik ke Goni)
Goni : (Diam)
Ibu Iin : “Mengapa kacamatamu pecah, Goni ?”.
Goni : (Tetap diam)
M. Khoir : “Karena saya tamper Bu”.
Ibu Iin : “Bagus..Bagus tabiatmu Khoir, tadi baru
kukatakan kepadamu bahwa
kau akan kulepas dari asrama dan kucabut tunjangan sekolahmu, kalau kelakuanmu
tidak senonoh. Tetapi peringatan itu kau
anggap sepi, mentang-mentang kau paling besar dan paling kuat disini. Khoir coba
lihat aku !”.
(Khoir
semula tunduk lalu memandang Bu Iin)
“Kau
sering melanggar tata tertib, karena itu kau harus kulepas dari asrama dan kucabut
tunjanganmu !”.
Goni : (Mengejar Bu Iin)
“Bu..Bu..!!
Nanti dulu, bolehkah saya sedikit mengajukan permohonan ?”.
Ibu Iin :
“Ayahmu meninggal ?”.
(Keadaan
menjadi sunyi kembali, lalu Goni berkata)
Goni : “Saya rasa masih dapat mengejar kereta api jam
2. sekarang baru jam 1 kurang
seperempat”.
Ibu Iin : “Cepat-cepat saja…..Khoir berkemas dulu !”.
M. Khoir : “Baiklah Bu saya permisi dulu (Khoir keluar)
Ibu Iin : “Goni, sekarang aku tahu mengapa kau mohon
agar hukuman Khoir ditangguhkan”.
Goni : (Mengangguk)
Sukis : (Dengan suara rata) “Kasihan dia”.
Ibu Iin : “Ya, ia baru kehilangan Ibunya setengah tahun
yang lalu, sekarang kehilangan
ayahnya”.
Sukis : “Memang kasihan, apalagi kalau ia harus pergi
dari sini. Tetapi ya salahnya
sendiri, mentang-mentang bekas gelirnya, lancang tangan”.
Goni : (Membentak). “Ah kau ini banyak omong sukis”.
M. Khoir : (Dengan terharu) “Terima kasih, Goni”.
(Bu
Iin dan Goni keheran-heranan)
Goni : “Mengapa kau berterima kasih kepadaku Khoir
?”.
M. Khoir : “Terima kasih atas kebaikan budimu”.
(Kemudian
ia mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya)
M. Khoir : “Maafkan atas niat saya yang jahat”.
Goni : “Itu buku-buku saya”.
M. Khoir : “Benar itu buku-bukumu, tadi kuambil dikamarmu
dengan maksud jahat
Ghoni : “Maksud jahat bagaimana, Khoir ?”.
M. Khoir : “Maafkan karena hasutan seseorang saya mencuri
buku-bukumu agar
kau tak dapat belajar”.
Goni : “Siapa yang menghasut ?”.
(Sukis
tampak gelisah)
M. Khoir : (Khoir melirik ke Sukis)
M. Khoir : “Biarlah, Goni. Penyesalanku tidak tertebus
dengan sepuluh arloji
Goni : (Kepada Bu Iin). “Bagaimana permohonan saya
tadi Bu ?” (Menyesal)
M. Khoir : “Goni, sebaiknya putusan Bu Iin kujalankan
karena saya telah bersalah.
(Melirik kearah Sukis) “Lagi pula, karena hasutan orang saya telah mencuri dengan maksud rendah
(Sukis gelisah lagi).
Bu Iin : “Khoir, sikapmu jantan sekali, karena itu
putusanku akan kupertimbangkan”.
M. Khoir “Tidak
Bu, tidak perlu saya harus pergi dari sini, karena saya harus bekerja untuk adikku
yang masih kecil-kecil (Semuanya terharu).
M. Khoir : “O…ya permisi Bu dan selamat tinggal Goni”.
Goni : “Baiklah mari aku antar sampai stasiun”.
(Setelah
semua pergi, Bu Iin berkata pada Sukis)
Ibu Iin : “Sukis kau
telah berbuat busuk, tulislah dalam buku “saya mengubah kelakuanku” sebanyak
300 kali dan besok harus diselesaikan, selama 3 minggu ini kau boleh keluar
asrama”.
(Bu
Iin keluar).
No comments:
Post a Comment